Home Lapanta Lapanta “Kontrak Kerja antara Penerjemah dan Pemberi Kerja”

Lapanta “Kontrak Kerja antara Penerjemah dan Pemberi Kerja”

by hpi
6 comments

Mimpi Di Ujung Buku Jari

Bapak Rudi Hendarto pada pertemuan Komp@k tanggal 14 April 2012 mengatakan, “Investasi asing di Indonesia sebentar lagi akan booming, itu berarti pekerjaan penerjemahan dan juru bahasa akan banyak sekali, terutama di bidang telekomunikasi dan properti.”

Bapak Iming Tesalonika pun menyatakan bahwa banyak sekali organisasi asing yang ingin bekerja sama dengan pemerintah untuk melakukan “capacity building” dan mereka membawa tumpukan dokumen yang perlu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia agar bisa dipahami oleh mitra Indonesia.

Kita bisa melihat sendiri, betapa Presiden kita kelimpungan ketika harus bertemu dengan Sekjen PBB tetapi tidak ada juru bahasa Korea yang mendampinginya.

Coba bayangkan apabila pada pertemuan KTT tidak ada juru bahasa, pasti akan lebih kocak dari Opera van Java, karena para petinggi negara yang terikat protokol harus berbahasa tarzan ketika menyampaikan pidatonya.

Mitra asing yang ingin berinvestasi pun akan bingung bagaimana mereka bisa menyampaikan proposal mereka atau memberikan pelatihan tanpa adanya terjemahan buku pedoman dalam bahasa Indonesia.

Peran penerjemah dan juru bahasa sedemikian penting, tapi seperti bangun dari mimpi indah, kenyataan pahit menyengat, masih ada orang yang menghargai jasa seorang penerjemah/juru bahasa lebih murah dari harga sepiring ketoprak.

Kode Etik Penerjemah sudah ada sejak kepemimpinan Prof. Dr. Benny Hoed, yang perlu disusun adalah peraturan pelaksanaannya kalau terjadi pelanggaran. Bagaimana prosedurnya, apa sanksinya, dan sebagainya. Ketua HPI, Bapak Eddie Notowidigdo, pernah mengatakan kepada saya, “Kita perlu Kode Etik, itu mimpi saya.” Atas upaya Beliau, kita menyelenggarakan Temu Komp@k untuk membahas Kode Etik. Pada Temu Komp@k tanggal 14 April yang lalu, kembali kita disadarkan, untuk bisa kuat kita perlu Kode Etik.

Kemarin, Bapak Iming menyatakan, “Organisasi bisa besar apabila punya anggota, tapi Organisasi tidak akan berkembang apabila dikendalikan secara autopilot.”

Dengan adanya Kode Etik, organisasi profesi memiliki posisi tawar yang tinggi dan yang paling penting anggotanya bisa mendapatkan perlindungan hukum.

Contoh yang paling nyata, Ikatan Dokter Indonesia. Begitu kuat posisi tawar IDI sampai dalam beberapa kasus dokter yang dituduh melakukan malapraktik, IDI melindungi dokter yang bersangkutan sehingga tidak sampai dijatuhi hukuman pidana. Tentu saja, IDI telah juga membuktikan bahwa dokter itu tidak melanggar Kode Etik Profesi.

Lantas bagaimana dengan profesi Penerjemah? Penerjemah juga memiliki risiko-risiko pekerjaan yang “mengerikan”. Dari tidak menerima bayaran, diteror, sampai diseret ke meja hijau. Kemana penerjemah harus berlindung ketika berhadapan dengan masalah hukum?

HPI sudah berkembang sedemikian pesat, jumlah anggota dari 200 telah mencapai hampir 500 orang. Komda-komda bermunculan di berbagai daerah bak kuncup bunga yang siap mekar untuk menebarkan harumnya. Pelatihan-pelatihan sudah dilaksanakan di berbagai daerah untuk meningkatkan standar para penerjemah, sertifikasi akan segera diadakan. Satu hal yang belum kita miliki, Kode Etik.

Mimpi itu sudah di ujung buku jari kita, mari kita buka genggaman dan bersama-sama kita jadikan draft Kode Etik menjadi Kode Etik yang memiliki segala kekuatan agar bisa menjadi pijakan sekaligus payung, dan saya sungguh berharap profesi penerjemah akan menjadi profesi bergengsi seperti layaknya profesi dokter atau pengacara.

Tidak bisa kita hanya membebankan seluruh tanggung jawab penggodokan Kode Etik kepada Ketua, pengurus dan Anggota Dewan Kehormatan HPI, kita semua harus berpartisipasi, paling tidak, dengan sumbang saran. Seperti yang diusulkan oleh mbak Dita Wibisono, bagaimana kalau kita membentuk pokja agar Kode Etik tidak hanya wacana semata? Kita bisa mulai dengan pertemuan sambil berbincang ringan antara para anggota HPI yang memiliki latar belakang hukum atau pengalaman dalam suatu organisasi berkode etik; atau mungkin pada saat pembentukan Komda Jateng, dibentuk satu panitia kecil? Gunung pun dapat ditaklukan apabila kita mulai maju selangkah demi selangkah.

Terima kasih kepada Bapak Iming Tesalonika yang telah kembali mengingatkan kami, betapa pentingnya HPI apalagi bila didukung dengan adanya Kode Etik.

You may also like

6 comments

ratih purnamasari Mei 17, 2012 - 5:55 am

wow….semoga HPI terus berkembang hingga bisa seperti IDI yang menaungi para penerjemah….!

Reply
Firmansyah, S.Ag,Sp.1 Mei 20, 2012 - 9:49 pm

Nama sy Firmansyah. sy mulai masuk HPI sejak 2011. Sayangnya sy selalu tidak pernah mendpaatkan info terbaru ttg HPI. Kenapa saya dikucilkan seperti ini, mba? Apa karena seorang penerjemah pemula, yg keadaaannya tidak begitu penting d HPi. Tapi sy butuh pengakuan dan kerjasaa para penerjemah senior utk membimbing saya. Kemana saya harus mengadu?

Reply
Dina Begum Mei 21, 2012 - 8:29 am

Hai Mas Firmansyah. Salam kenal, saya Dina Begum, anggota HPI sejak 2011 juga. Bukan bermaksud menggurui tapi saya kurang sependapat dengan Anda yang merasa dikucilkan.
Saya tidak menunggu diberi informasi terbaru dari HPI karena saya mengerti pengurus HPI pun sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Walau jarang posting, saya rajin memantau milis Bahtera dan grup HPI di Facebook jadi selalu mendapat kabar tentang kegiatan himpunan. Selain itu, saya selalu menyempatkan diri menghadiri pertemuan-pertemuan himpunan/Bahtera agar bisa belajar lebih banyak lagi dari para penerjemah yang handal. Saya belajar menerjemahkan sendiri, tanpa bimbingan khusus dari seseorang, tidak punya latar belakang pendidikan sastra atau bahasa, hanya berbekal hobi baca dan nekat saja. Alhamdulillah sekarang cita-cita saya menjadi penerjemah novel tercapai. Sekadar berbagi cerita: bagaimana saya bisa sampai menjadi penerjemah Mungkin saya lebih beruntung dari Mas Firmansyah dari segi lokasi tempat tinggal (di salah satu kota satelit dari Jakarta) karena acara-acara HPI memang kebanyakan diadakan di Jakarta sehingga relatif mudah bagi saya untuk menghadirinya. Namun, saya sering menjumpai peserta pertemuan yang berasal luar Jakarta, luar provinsi, bahkan dari luar Pulau Jawa. Mereka memang sengaja datang untuk menghadiri acara.
Saran saya, bergabunglah dengan milis Bahtera dan grup HPI di Facebook (bila belum) untuk mendapatkan informasi terbaru dari HPI. Selain itu, jika sempat, datanglah ke acara pertemuan HPI – baik itu acara Kompak maupun pelatihannya. Berdasarkan pengalaman saya, banyak manfaat yang didapat dengan proaktif.

Reply
Evina Utami Mei 21, 2012 - 6:24 pm

Hai Mas Firman,

Silakan hubungi Sekretariat HPI di nomor telepon 021-71617397 atau layangkan surel ke sekretariat@hpi.or.id untuk informasi mengenai kegiatan HPI.

Atas nama tim Infotek HPI saya memohon maaf atas ketidaknyamanan Mas Firman dan mudah-mudahan Mas Firman tetap semangat dan bisa menyempatkan waktu untuk bertemu kami secara langsung pada acara-acara HPI selanjutnya.

Salam,

Vina

Reply
Ahmad Murodi Saiman Juni 8, 2012 - 6:59 am

Saya adalah penerjemah tersumpah Indonesia-Arab-Indonesia sejak tahun 2008 ingin bagabung dengan HPI, kemana saya bisa mendaftar? syukron.

Reply
Hardi Thio September 13, 2012 - 2:09 pm

Kepada YTH,

Saya Hardi Thio dari PT. Stollberg Samil Indonesia sedang mencari penerjemah yg siap berkerja di perusahaan kami.

Kami adalah perusahaan dari Korea Selatan yg bergerak di industri mesin perkakas mesin untuk pengerjaan logam.

Kantor kami berada di Cilegon, Kawasan Industri Krakatau.

Penerjemah dibutuhkan sebagai:

– menerjemahkan dokument Korea ke Indonesia.

– menerjemah di saat meeting atau acara tertentu.

– bisa menerjemahkan untuk tamu – tamu yang datang dari Korea.

Untuk perkerjaan tersebut :

– Masa percobaan selama 3 bulan pertama.

– Bila cocok akan kontrak selama 1 tahun.

– System kerja sama seperti perkantoran, masuk jam 8.00 – 17.00, 5 hari seminggu.

Terima kasih atas perhatianya.

Sincerely yours,

Hardi Thio

Reply

Leave a Comment