Temu HPI Komp@k (Pertemuan HPI, Komunitas Penerjemah & Kerabat) ini adalah acara kedua HPI setelah dimulainya kepengurusan baru di bawah pimpinan Eddie R. Notowidigdo, mantan moderator milis Bahtera, yang terpilih sebagai Ketua HPI periode 2010-2013 pada bulan Oktober 2010 yang lalu. Acaranya yang pertama adalah KumAng (Kumpul Anggota) yang diselenggarakan akhir November tahun lalu, juga di Jakarta. Jumlah yang hadir dalam acara Temu HPI Komp@k kali ini mencapai lebih dari 90 orang! Benar-benar di luar dugaan, tetapi untunglah masih dapat ditampung di ruang Serambi Salihara.
Acara yang semula dijadwalkan berlangsung mulai jam 09.00 ternyata agak terlambat dimulai karena menunggu kedatangan 2 narasumber dari UNHCR yang kena macet. Tetapi, setelah dimulai, acara berlangsung dengan amat lancar. Temanya kali ini adalah seluk beluk dunia kejurubahasaan. Bentuk acaranya sendiri digelar sebagai acara bincang-bincang (gelar wicara) yang dipandu oleh juru bahasa anggota HPI, Handewi, yang terlihat jelas sangat menguasai bidang ini.
Tamu Dewi – begitu Handewi biasa disapa – cukup mewakili bidang kejurubahasaan ini. Hadir dua orang perwakilan dari UNHCR, yakni Aesonia Jennifer Pongen yang membidangi kejurubahasaan, serta Javid Ahmadi yang berperan sebagai juru bahasa di IOM untuk bahasa Farsi. Selain itu, ada Tiya Diran yang mewakili juru bahasa, Margaretha Adisoemarta yang mewakili bidang pendidikan, serta John Sinulingga yang mewakili penyedia peralatan kejurubahasaan.
Dewi berhasil menggali suka duka Tiya selama berkiprah menjadi juru bahasa berbagai konferensi internasional, baik di dalam negeri maupun di mancanegara. Saya sendiri “mengenal” Tiya ketika yang bersangkutan masih menjadi penyiar TVRI. Oleh Tiya, kita diajak menyelami suka duka juru bahasa serta beberapa saran agar bisa berperan dengan sebaik-baiknya. Antara lain Tiya menceritakan bahwa dia sengaja membeli perlengkapan (head set) sendiri sehingga tidak terlalu mengandalkan peralatan yang disediakan panitia, yang kadang bermasalah. Harga head set itu $400, tetapi sangat bermanfaat karena dapat meredam derau dan mengeraskan suara (booster) sehingga membuat juru bahasa nyaman karena yang terdengar di telinga hanya suara orang yang ucapannya diterjemahkan.
Ketika ada salah seorang di antara hadirin yang bertanya apakah dia bisa menjadi juru bahasa, padahal “takut” tampil di depan umum, dengan meyakinkan Tiya mengatakan bahwa juru bahasa justru tidak tampil di depan umum, kecuali yang menjalankan penerjemahan konsekutif. Bahkan, John mengatakan bahwa bisa saja juru bahasa hanya bercelana pendek karena dia berada di dalam bilik penjurubahasaan.
Hal lain yang menarik bagi saya adalah penjelasan dari perwakilan UNHCR yang menyatakan mereka membutuhkan banyak sekali juru bahasa dengan bahasa yang amat beragam. Pada saat ini mereka membutuhkan juru bahasa yang menguasai bahasa Prancis dan bahasa Arab. Bahasa Prancis diperlukan bagi pengungsi yang berdatangan dari negara di Afrika yang pada umumnya berbicara dalam bahasa tersebut.
Selain menggali informasi menarik dan bermanfaat dari para narasumber, Dewi juga menampilkan beberapa video yang membuat hadirin berdecak. Salah satu video yang ditampilkan adalah video seorang mantan pemain sepak bola dari Liverpool yang berbicara dalam bahasa Inggris logat Liverpool dengan amat sangat cepat. Bahkan teks bahasa Inggris yang ditampilkan di bagian bawah layar bergerak seperti orang lari karena begitu cepatnya orang tersebut berbicara. Entah bagaimana juru bahasa mengikuti ucapannya seandainya ucapannya harus diterjemahkan ke bahasa lain!
Video lain yang ditampilkan adalah video saat Presiden SBY akan berpidato untuk menyambut Presiden Austria, yang perlu menggunakan alat pendengar terjemahan. Presiden Austria menyangka alatnya rusak karena tidak mengeluarkan suara. Gawatnya, hingga berkali-kali pidato Prseiden SBY terpaksa dihentikan. Ternyata kesalahannya terletak pada SDM yang bukan juru bahasa profesional, tetapi seorang diplomat yang menyangka bahwa ia harus menerjemahkan secara konsekutif! Jadi, saat SBY bicara, sang diplomat diam saja menunggu SBY berhenti untuk memberi kesempatan kepadanya untuk menerjemahkan, padahal sudah jelas sekali bahwa peralatan yang tersedia adalah untuk penerjemahan simultan berupa bilik penjurubahasaan berikut headset. Karena tidak mendengar suara si juru bahasa, Presiden Austria menyangka ada kesalahan dengan peralatannya. Kesimpulan ceritanya, biarlah pekerjaan penjurubahasaan dilakukan oleh juru bahasa profesional.
Nah, mengingat begitu pentingnya peranan juru bahasa, Tiya mengatakan bahwa sebagai juru bahasa, seseorang harus menghargai dirinya sendiri, sebab tanpa juru bahasa, kegiatan internasional bisa terganggu. Tanpa menyebutkan besaran honornya pun, kita bisa mengambil kesimpulan sendiri berapa biaya yang harus disediakan panitia untuk menggunakan jasa Tiya. Selain biaya penjurubahasaan selama 8 jam sehari, biaya dua hari perjalanan @ $350 harus disediakan pula oleh panitia, di samping biaya penginapan dan transportasi.
Ketika ada pertanyaan tentang cara merintis karier di bidang ini, juru bahasa senior Kukuh Sanyoto mengemukakan bahwa ada kesempatan untuk magang. Si magang ikut berada di dalam bilik bersama juru bahasa utama dan juru bahasa yunior yang mendampingi sang juru bahasa utama tersebut. Memang kegiatan juru bahasa dilakukan secara bergantian setiap periode waktu tertentu, misalnya setiap 30 menit. Nanti, setelah melakukannya beberapa kali tanpa mendapatkan honor, si magang dapat naik pangkat menjadi juru bahasa yunior untuk menambah jam terbang, sebelum akhirnya menjadi juru bahasa utama.
Acara gelar wicara ini kemudian diikuti dengan peragaan peralatan penerjemahan dan hadirin diberi kesempatan untuk mencoba peralatan tersebut dan pada saat yang sama kinerja mereka dinilai oleh dewan juri. Dewan jurinya ditunjuk dadakan, tetapi yang ditunjuk semuanya bersedia menjadi juri dengan gembira. Mereka adalah Prof Benny Hoed (mantan Ketua HPI), drs. Widodo Sutiyo (mantan juru bahasa Presiden Suharto), dan Indra Blanquita (juru bahasa kawakan yang juga menjadi anggota pengurus HPI). Tercatat delapan orang yang mencoba peralatan dan menerjemahkan penggalan pidato Obama ketika berkunjung ke Indonesia. Lima orang mendapatkan hadiah, dan hadiah pertama jatuh ke tangan Rury Dewi Ankarani.
Acara kemudian dilanjutkan oleh penulis dan Maria E. Sundah dengan peluncuran buku Bahtera 2, Menatah Makna. Salah satu artikel yang dibacakan sengaja dipilih yang sesuai dengan tema acara HPI saat itu, yaitu artikel tentang suka duka juru bahasa, yang ditulis oleh Niken Terate, yang judulnya sangat genit… I am just the lips, just the lips…
Peluncuran buku Bahtera di ajang HPI merupakan wujud kerja sama yang saling menguntungkan antara HPI dan Bahtera. HPI adalah organisasi profesi resmi para penerjemah, sementara Bahtera tempat berkumpulnya lebih dari 2700 penerjemah. Dalam acara kemarin pun boleh dikatakan sebagian besar peserta berasal dari komunitas Bahtera, baik yang sudah maupun yang belum menjadi anggota HPI. Nah, siapa tahu suatu hari kelak semua anggota Bahtera menjadi anggota HPI! .
Acara berikutnya adalah acara tiup lilin kue ulang tahun HPI yang tanggal 5 Februari yang lalu berulang tahun yang ke-37. Tiup lilin dilakukan oleh Ketua HPI dan dua orang anggota Dewan Kehormatan HPI, yaitu Prof. Benny Hoed dan penulis. Kue ulang tahun ini pun kemudian menjadi hidangan pencuci mulut sehabis makan siang.
Sebelum akhirnya dipersilakan menikmati makan siang, hadirin beserta pengurus HPI berfoto bersama, dan selesailah sudah rangkaian acara yang sangat bermanfaat dan meriah ini, yang hanya dapat berjalan lancar berkat peran penting MC kawakan merangkap penerjemah dan anggota pengurus HPI, Anna Wiksmadhara. Tanpa kepiawaiannya memandu acara, mustahil pergantian acara demi acara bisa berlangsung demikian mulus.
Akhirnya, penulis ucapkan sampai jumpa di acara Temu HPI Komp@k berikutnya pada bulan April 2011 dengan tema Penerjemahan Buku. Entah apakah sudah harus daftar dari sekarang, mengingat jumlah peserta kemarin pun membludak!
Salam Komp@K,
Sofia F. Mansoor
Anggota Dewan Kehormatan HPI
Pendiri Bahtera
1 comment
Sayang saya tidak ikut hadir, semoga di lain waktu bisa ikutan.
Salam,