Laporan Pandangan Mata
PDS H.B. Jassin, TIM Cikini 17 Maret 2012
Pelatihan Penyuntingan yang diadakan Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI) kali ini merupakan pelatihan pertama yang diadakan di tahun 2012 ini. Fasilitator yang berbagi ilmu dalam kesempatan kali ini adalah Ibu Sofia Mansoor yang sudah menjadi penerjemah sejak tahun 1980 dan Mas Ivan Lanin, penerjemah dan penyunting yang juga penyusun Kateglo dan wikipediawan. Sayang sekali Bapak Hendarto Setiadi yang sebenarnya juga diminta menjadi fasilitator berhalangan hadir karena mengalami kecelakaan motor saat hendak berangkat ke acara HPI.
Mbak Dita Wibisono yang bertindak sebagai MC membuka acara dengan mengajak para peserta melakukan brain gym supaya pikiran lebih terfokus. Menurut Mbak Dita, brain gym ini bisa menjadi solusi untuk menyegarkan pikiran saat konsentrasi sedang menurun dan pikiran mentok. Setelah itu, acara dilanjutkan dengan perkenalan dari kedua pembicara dan semua peserta. Ternyata latar belakang para peserta cukup beragam. Selain sebagai penerjemah dan penyunting, ada beberapa orang yang berprofesi lain, seperti guru, ahli hukum, dan penulis. Beberapa orang lain juga mengaku baru belajar menerjemahkan atau menyunting. Yang mengagumkan, beberapa peserta ternyata datang dari luar Jakarta. Bahkan ada yang datang jauh-jauh dari Medan dan Mataram (Lombok), khusus untuk mengikuti pelatihan ini.
Acara pelatihan berlangsung seru, serius, tapi santai. Setiap peserta diberi salinan satu folder berisi file materi berikut latihannya untuk bahan diskusi. Agar setiap peserta bisa bekerja senyaman mungkin saat mengerjakan berbagai latihan yang diberikan fasilitator, panitia menyediakan kudapan pagi berupa kopi, teh, serabi, dan sandwich (alias roti lapis, kata Mas Ivan). Bu Sofia dan Mas Ivan bergantian menjelaskan berbagai topik yang menjadi bahan diskusi, diselingi canda yang tentu saja ampuh mencegah para peserta dari rasa kantuk dan lelah.
Bu Sofia memulai diskusi dengan meluruskan pengucapan sebagian peserta yang masih keliru menyebut pekerjaan mereka sebagai “penterjemah”. Yang benar adalah “penerjemah”, yaitu orang yang “menerjemahkan” (bukan “menterjemahkan”). Mas Ivan menambahkan penjelasan bahwa menurut kaidah bahasa Indonesia, huruf “t” pada kata “terjemah” luluh bila bertemu awalan “me-”.
Setelah itu, dimulailah latihan pertama, yaitu menyunting teks tanpa tanda baca. Setelah peserta diberi waktu beberapa puluh menit untuk mengerjakan, fasilitator meminta beberapa peserta untuk mempresentasikan pekerjaannya. Di sini, peserta harus mempresentasikan pekerjaan mereka sambil menjelaskan, mengapa mereka menyunting teks menjadi begini atau begitu. Ini sekaligus juga membiasakan peserta untuk bekerja atas dasar ilmu agar dapat mengemukakan argumen yang tepat kepada penerjemah dan klien.
Tentu banyak sekali contoh kata dan kalimat yang menjadi bahan diskusi hangat. Namun, ada beberapa kesalahan umum yang jadi menarik saat diangkat dalam diskusi ini, antara lain kata perkecualian peluluhan huruf awal “p” dan “k”. Perkecualian hanya berlaku untuk kata “mempunyai” dan “mengkaji”. Huruf “p” dan “k” pada kedua kata tersebut tidak luluh. Ini berbeda dari, misalnya, kata “memukul” (“p” pada “pukul” luluh) dan “mengenal” (“k” pada “kenal” luluh).
Hal lain yang juga harus selalu diperhatikan penyunting adalah mencari dan menggunakan rujukan, seperti kamus dan ensiklopedia. Rujukan ini sangat penting agar penyunting bisa menyunting dengan benar, terutama bagian-bagian yang sulit dan tidak biasa, misalnya penulisan nama bilangan dan satuan ukuran.
Untuk menjawab pertanyaan seorang peserta (saya!), meskipun agak melenceng dari materi penyuntingan, Bu Sofia juga memberi sedikit tips tentang penulisan alinea. Menurut Bu Sofia, cara penulisan alinea yang baik adalah dengan menuliskan ide atau kalimat utama pada bagian awal alinea atau akhir alinea (sebagai kesimpulan). Cara ini juga memungkinkan pembaca untuk mengetahui ide utama dan menangkap pesan setiap alinea dengan cepat.
Setelah diselingi santap siang dengan menu lontong cap gomeh komplet, acara pun beranjak ke soal latihan berikutnya. Kali ini peserta diminta menyunting teks dengan berfokus pada kata “and” dalam kalimat. Ternyata kata “and” tidak selalu harus diterjemahkan sebagai “dan”. Dalam kalimat, kata “and” bisa dihilangkan atau diterjemahkan menjadi makna lain. Misalnya saja “Her hair is getting longer and longer” yang bisa diterjemahkan menjadi “Semakin lama, rambutnya semakin panjang”. Tentu saja perubahan atau penghilangan ini juga terkait erat dengan gaya masing-masing penerjemah dan penyunting. Perbedaan gaya ini dibolehkan selama tetap mendukung atau sesuai dengan konteks kalimat.
Mas Ivan mengetengahkan topik “kesalahan berbahasa” dengan menujukkan halaman demi halaman salindia (padanan untuk slide) yang dibuatnya. Di sini Mas Ivan menekankan pentingnya unsur 5W+1H atau yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan akronim “astikamba”. Masih menurut Mas Ivan, istilah “bahasa yang baik” sebenarnya sangat tergantung pada gaya bahasa yang digunakan dalam sebuah teks, apakah santai atau formal. Untuk menentukan kapan memakai yang formal atau santai, sebaiknya kita selalu mempertimbangkan faktor penentu komunikasi, misalnya sasaran, situasi, dan konteks.
Salah satu contoh kesalahan yang masih sering ditemukan adalah ketiadaan subjek dalam kalimat. Kita sering kali masih menemukan kalimat tanpa subjek yang sering kali terasa wajar, padahal salah, misalnya “Kepada pengunjung harap antre dengan tertib.”
Kapan kita memakai “di” dan “pada”? Agar mudah diingat, mas Ivan memberi patokan, yaitu bahwa “di” digunakan di depan kata yang menunjukkan lokasi, sedangkan “pada” digunakan bila objeknya manusia. Intinya, preposisi yang boleh dihilangkan hanyalah “oleh”.
Pada dasarnya, menurut Mas Ivan, yang sebenarnya harus dilakukan oleh seorang penyunting adalah komunikasi dengan manajer proyek dan penerjemah yang karya terjemahannya kita sunting. Yang paling penting dari sebuah karya terjemahan adalah bahwa terjemahan tersebut benar dan pesannya tersampaikan. Mas Ivan menyarankan agar pembicara tidak terlalu mempermasalahkan hal-hal yang preferential seperti soal diksi karena hal tersebut terkait dengan “selera” penerjemah. Tugas penyunting adalah memperbaiki kesalahan, bukan mencari-cari kesalahan.
Itulah sebagian kecil dari ilmu yang didapat oleh peserta hari itu. Sayang tidak semua bahan latihan sempat dibahas karena waktu yang terbatas. Waktu sehari tampaknya memang tidak cukup untuk para peserta yang teramat antusias mengerjakan latihan dan mempresentasikannya di depan yang lain.
Setelah diselingi makan kudapan sore berupa sus keju dan klappertaart yang enak, pelatihan ini pun berakhir. Mbak Dita menutup acara pelatihan dan membagikan door prize berupa 2 buah novel terjemahan berjudul “Saudagar Buku dari Kabul” karangan Asne Seierstad. Peserta yang beruntung mendapatkan novel yang merupakan hasil terjemahan Bu Sofia sekitar 10 tahun lalu itu adalah Mbak Meita Lukitawati dan Mbak Lulu Fitri Rahman. Acara pamungkas adalah penyerahan sertifikat kepada Bu Sofia dan Mas Ivan selaku pembicara.
Meskipun acara pelatihan temu muka ini sudah berakhir, masih ada episode lanjutannya, yaitu lomba menyunting teks, khusus untuk para peserta pelatihan. Semua peserta diminta menyerahkan hasil suntingan mereka melalui surel kepada panitia pekan depan. Siapakah pemenangnya? Kita tunggu saja informasi selanjutnya!
Mila Kartina
11 comments
Maaf, sebetulnya saya sangat ingin ikut pelatihan juga. Tapi pada jam dan waktu yang sama saya ada training di tempat lain yang waktunya tidak bisa dirubah! Semoga pada waktu yang akan datang saya bisa mengikuti pelatihan yang lain. Trima kash!!!
Mudah2 an di lain waktu akan diadakan pelatihan yang sama karena saya tidak bisa ikut dalam pelatihan. Saya sangat tertarik sekali dengan brain gymn. Gimana ya caranya? Terimakasih.
Budiman
Setjen DPR
Banyak sekali ilmu yang diperoleh dari pelatihan ini. Diskusinya juga enak dan terbuka. Terima kasih HPI dan juga para fasilitator, Ibu Sofia Mansoor dan Mas Ivan Lanin!
Alhamdulillah jika pelatihan ini dirasakan manfaatnya. Jika diinginkan pelatihan yang sama, silakan menghubungi Sekretariat HPI, baik di pusat maupun di daerah. Dengan senang hati para narasumber akan memenuhi permintaan tersebut, selama dalam keadaan sehat tentunya 🙂
Justru saya tidak merasakan manfaatnya. karena saya tidak pernah mendapatkan undangan via surel dr Mba lila. Maknya saya agak sedikt “kecewa” dengan HPI yang masih menganggap saya tidak memiliki kemampuan apapun di bdg penerjemahan.
Ibu Sofia yang terhormat; saya mau Ibu memberikan saya kesempatan dan membimbing saya utk mnjadi penerjemah yg baik? apa karena penerjemah Arab kurang dikenal, dan kurang diminati sehingga sy tidak pernh merasakan pengaruh positif HPI di hati saya. Maaf ya buu, ini hanya skdar ungkapan hati sy yang saya tujujan buat Ibu Sofia Mansur.
Dari : Firmansyah, S.Ag, Sp.1
(Penerjemah Arab-indonesia Pemula)
Kalo ibu mau memberikan jawaban/masukan bisa melalui email saya : firmansyahsyatibi@yahoo.co.id
saya ingin sekali mendaftar jadi anggota HPI dan bisa ikut pelatihan-pelatihan penerjemah.bagaimana caranya? dan apa syaratnya? mudah mudahan ada yang bisa bantu saya.terima kasih
Hai Mas Amin, untuk syarat dan cara untuk menjadi anggota HPI bisa dibaca di sini: http://www.hpi.or.id/lang/id/keanggotaan
Silakan kirim surel ke Sekretariat HPI di sekretariat@hpi.or.id untuk minta formulir pendaftaran. Setelah diisi lengkap silakan dikirim kembali ke sekretariat untuk diproses. Terima kasih atas minat Anda.
Pada acara itu saya belajar bahwa banyak sekali aturan-aturan baku yang belum disepakati semua orang karena hanya segelintir orang saja yang mengetahui dan memahami aturan itu.
Seperti contohnya kata afdhol, yang ternyata kata bakunya afdhal. Kata ini justru menjadi aneh dan tidak nyambung kalau dipakai di tulisan sehari-hari. Justru istilah yang sudah disepakati bersama harus mengalah pada kata baku yang ditentukan segelintir orang saja.
Terlepas dari preferential penulis, Mas Irvan terus menekankan pentingnya mengacu ke KBBI dan sumber-sumber lainnya karena memang justru yang kita anggap benar justru tidak tepat.
Saya sangat senang dengan keputusan saya mengikuti pelatihan ini karena selain menambah wawasan, pelatihan ini juga memperluas jaringan saya dan memperkenalkan saya ke peluang-peluang baru yang sebelumnya tidak saya sadari.
Saya tidak sabar mengikuti acara HPI selanjutnya. Bahkan saya selalu mencari-cari web untuk mengantisipasi kapan acara selanjutnya digelar.
HPI..nyandu banget!! he he he…
Itu bagi Anda, tetapi tidak bagi saya, penerjemah yang terkucilkan…