Home Lapanta Laporan Pandangan Mata Seminar & Lokakarya Penerjemahan

Laporan Pandangan Mata Seminar & Lokakarya Penerjemahan

by hpi
0 comment

Universitas Galuh, Ciamis, 5 Januari 2013

Tahun 2013, kegiatan HPI Komda Jabar diawali dengan sebuah undangan untuk berseminar di “desa” (sesuai pengakuan Pak Guntoro, tuan rumah kami) Ciamis, Jawa Barat.

Awalnya, saya berjumpa dengan Pak Guntoro di Yogya dalam acara acara pembentukan HPI Komda DIY-Jateng. Pak Guntoro, yang ternyata adalah Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Galuh, Ciamis, sedang menempuh studi S-3 di UNS (Solo). Rupanya beliau salah satu peserta yang hadir berkat undangan sahabat saya, Rahmani Astuti. Pak Guntoro sangat tertarik dengan paparan seminar dalam acara pembentukan komda saat itu. Beliau menyatakan keinginannya untuk menyelenggarakan seminar serupa di kampusnya. Setelah lama menunggu, akhirnya kami sepakat untuk menyelenggarakan acara seminar ini pada hari Sabtu, 5 Januari 2013 kemarin.

Kami berempat (saya, Betty, Meita, dan Theo, keponakan saya yang mengemudikan mobil) berangkat dari Bandung sehari sebelumnya, sekitar pk. 16.30. Alamak, siapa yang menyangka, perjalanan yang seharusnya dapat ditempuh dalam tiga jam saja, kami tempuh dalam tujuh jam! Gara-gara tiga buah tronton kandas, patah as, di daerah Gentong (Tasik). Dan kami mengomeli fungsi jembatan timbang di sana yang tampaknya tidak efektif, bagaimana mungkin tronton yang kelebihan beban diloloskan begitu saja. Tiba di penginapan menjelang tengah malam, kami semua langsung “hilang”. Oh ya, Adhi menyusul berangkat dari Sumedang pada keesokan harinya.

Sekitar pukul 07.00 keesokan harinya, the “big” day, Pak Guntoro berkunjung menyapa kami di hotel, dan kami kemudian menyusul beliau ke kampus Unigal.

Kampus Universitas Galuh (Unigal) terletak sedikit di luar kota Ciamis. Tempatnya nyaman, di perbukitan. Seminar diselenggarakan di Auditorium kampus. Waktu kami tiba, sudah banyak mahasiswa yang hadir di sana, bersiap untuk mengikuti acara seminar.

Acara diawali dengan kata sambutan dan doa, kemudian secara resmi dibuka dengan pukulan gong oleh Dekan FKIP Unigal.

Presentasi pertama disampaikan oleh Pak Guntoro, yang menyajikan mengenai “Ideologi Penerjemahan”. Paparan beliau cukup menarik, padat dan ringkas.

“HPI : Apa dan Siapa” –yang merupakan perkenalan mengenai HPI- disajikan oleh Betty Sihombing, bu Bendahara kami. Saya bangga menyaksikan presentasi Betty, begitu mantap dan meyakinkan. Tak lupa juga kami singgung tentang dimuatnya berita akan diselenggarakannya seminar ini di PR berkat Mas Imam JP yang adalah Humas kami. Belakangan, dengan tabletnya, Meita menunjukkan publikasi tersebut ke Pak Guntoro.

Presentasi ketiga, saya sendiri yang menyampaikan, mewakili Pak Eddie yang batal hadir karena kedatangan singa mati raksasa…J Materi dari Pak Eddie adalah “Memasarkan Jasa Penerjemahan Lewat Internet.” Ketika CV saya dibacakan, di bagian belakang, para mahasiswa bersorak heboh mendengar bahwa saya lulusan sekolah cap gajah (ITB), dan bahwa saya memiliki sertifikat kompetensi bahasa Inggris dari Cambridge (padahal itu teh ujian lokal di Bandung saja, bukan di “sono”!). Serasa jadi selebriti deh

Presentasi berikutnya disampaikan oleh Meita Lukitawati, sang wakil ketua. Namun sebelumnya, Meita membuat acara selingan, untuk mengurangi kebosanan atau kejenuhan peserta. Tetapi menurut pengakuan mereka, mereka sama sekali tidak bosan.

Meita menyampaikan materi “Penerjemah yang baik – harus ngapain?”. Paparan dibuka dengan candaan dari Mox Blog dan beberapa kutipan kata-kata bijak mengenai penerjemahan. Berikutnya disampaikan mengenai apa saja yang perlu dipahami untuk menjadi penerjemah yang baik, perangkat apa saja yang perlu dimiliki, serta kualitas apa saja yang perlu dipertahankan untuk “survive” sebagai penerjemah yang baik.

Keempat presentasi tadi diikuti dengan sesi tanya jawab singkat. Ada beberapa pertanyaan menarik di sana. Salah satunya ialah, bagaimana caranya untuk mengasah keterampilan penerjemahan bidang sastra? Hm, sesuatu yang tidak mudah, memang. Kami menekankan perlunya banyak membaca, membaca dan membaca. Saya kemukakan juga mengenai baru diselenggarakannya sebuah lokakarya penerjemahan sastra di Jakarta beberapa waktu silam, dan mungkin akan ada tindak lanjut berupa pembentukan pusat penerjemahan sastra. Pertanyaan lain yang menarik adalah, “Apakah HPI menyediakan tim penilai kualitas penerjemahan, bila misalnya sebuah agensi A memberi order terjemahan, katakan saja, manual alat kedokteran, kepada seorang penerjemah.” Saya kemukakan bahwa HPI tidak menyediakan tim penilai semacam itu. Penilaian kualitas pekerjaan seorang penerjemah sepenuhnya dinilai oleh pengguna akhir/klien atau agensi. HPI bukan agensi. Yang disediakan HPI adalah tim penilai kompetensi seorang penerjemah, dalam bentuk penyelenggaraan TSN.

Setelah rehat makan siang dan sholat, kami memasuki sesi pelatihan singkat mengenai cara menggunakan Wordfast Classic. Adhi Ramdhan menjadi pemandu pelatihan ini, dan secara singkat juga diajarkan mengenai menanam peranti lunak ini di laptop/netbook para mahasiswa serta bagaimana menggunakannya. Kami berjanji bahwa pada kesempatan berikutnya akan diberikan pelatihan yang lebih menyeluruh mengenai penggunaan Wordfast Classic.

Pak Guntoro menyatakan keinginannya juga untuk diadakan pelatihan untuk penerjemah pemula. Saya sampaikan bahwa kami akan mengusahakan, tentunya tidak dengan hadirin sedahsyat ini. Oh ya, saya lupa menyampaikan. Di awal seminar, ketua panitia Seminar, Indra, menyampaikan bahwa peserta yang terdaftar sebanyak 450 orang! Pada penutupan, disampaikan bahwa jumlah yang hadir saat itu 487 orang! Wow! Dan saya dengar dari salah seorang panitia, ini seminar terbesar yang pernah diselenggarakan oleh Unigal. Sebelum seminar dimulai, kami sempat berbincang dengan Pak Guntoro mengenai jumlah peserta didik untuk jurusan bahasa Inggris : 1000 orang!

Di akhir acara seminar, saya sempat bertanya kepada Pak Guntoro, “Bagaimana Pak, apakah cukup puas dengan seminar hari ini? Sekaligus saya minta maaf atas kekurangan-kekurangan kami.” Jawaban Pak Guntoro menjadi reward yang sangat berarti untuk saya, “Puas sekali!”

Di sanalah terasa perbedaannya antara “kota” dan “daerah”. Di daerah, orang begitu haus untuk mengikuti pendidikan tinggi, dan salah satu pilihan yang paling banyak diminati ternyata adalah bahasa Inggris (dalam hal ini, pendidikan Bahasa Inggris). Semoga penerjemahan juga bisa menjadi sumber pendapatan bagi mereka kelak.

Jadi, tetap semangat ya, teman2 di komda-komda lainnya! Masih banyak kerja kita, dan masih banyak yang menunggu informasi mengenai dunia yang membuat banyak di antara kita jadi “tersesat” namun nikmat ini…translation….our passion….

 

Padalarang, 7 Januari 2013

Lanny Irenewati Utoyo

 

 

*Singa mati (dead lion): pelesetan dari deadline atau tenggat.

 

You may also like

Leave a Comment