Webinar HPI Kepri
Webinar ini diselenggarakan oleh Himpunan Penerjemah Indonesia Komisariat Daerah Kepulauan Riau pada 24 April 2021, pukul 09.00 - 11.00 WIB. Narasumber webinar ini adalah Drs. I Wayan Ana, M.Hum., seorang praktisi yang sudah sangat berpengalaman menjadi juru bahasa di pengadilan atau kepolisian.
Webinar HPI Komda Kalsel
Webinar ini diselenggarakan oleh HPI Komisariat Daerah Kalimantan Selatan pada 03 April 2021, pukul 09.00-12.00 WITA. Narasumber yang dihadirkan adalah Dr. Sugeng Hariyanto, S.Pd, M.Pd. Webinar ini bertujuan untuk memaparkan kiat-kiat praktis yang dapat menunjang praktik penerjemah pemula.
Webinar HPI Pusat
Webinar ini diselenggarakan oleh HPI pada tanggal 17 April 2021, pukul 13.00-15.00 WIB. Narasumber webinar ini adalah Haru Deliana dewi, Ph.D. Dalam webinar ini, Haru Deliana Dewi memperkenalkan konsep kekakuan dan keleluasaan dalam penerjemahan, memberikan gambaran penerjemahan jenis teks yang berorientasi pada teks sumber seperti teks hukum dan teks akademik, dan memberikan gambaran penerjemahan jenis teks yang berorientasi pada teks sasaran seperti teks pidato dan teks jurnalistik.
Webinar HPI Pusat
Webinar ini diselenggarakan oleh HPI pada 20 Maret 2021. Narasumber webinar adalah Fransisca Emi, CFP, seorang perencana keuangan bersertifikat, dan dimoderatori oleh Ricky Zulkifli, Penasihat BP HPI Komda Jawa Barat. Webinar ini bertujuan memberikan pengetahuan dasar perencanaan keuangan bagi para penerjemah dan juru bahasa lepas.
Selain menjadi sarana komunikasi, surel juga bisa didayagunakan sebagai media pemasaran jasa. Temukan lima poin yang perlu diperhatikan agar komunikasi surel Anda menjadi efektif.
Surel adalah salah satu media komunikasi yang paling umum digunakan. Bahkan ada beberapa negara yang menjadikan surel sebagai media komunikasi utama mereka. Terlepas dari itu, surel memang menjadi media yang efektif untuk bertukar pesan sekaligus berbagi berkas.
Dunia bisnis tentu tak lepas dari penggunaan surel. Malah, surel menjadi andalan karena mampu memuat banyak teks, tanpa kehilangan esensinya sebagai pesan formal. Bisnis alih bahasa tak luput dari kebutuhan menggunakan surel. Seperti bidang-bidang pekerjaan lainnya, bisnis alih bahasa membutuhkan surel untuk mencari klien, melamar pekerjaan, mengikuti tender proyek terjemahan, dan komunikasi lanjutan jika semua sudah berjalan.
Tidak perlu keahlian khusus untuk membuat surel – siapa pun bisa. Namun, dalam dunia bisnis dan kerja profesional, surel adalah satu dari banyak hal yang perlu diperhatikan. Bahkan, beberapa perusahaan sampai memberikan pelatihan untuk para karyawannya agar mereka dapat membuat surel yang efektif karena, dengan begitu, perusahaan mampu memberi gambaran dan menyuguhkan penawaran terkait produk dan/atau jasa mereka kepada (calon) konsumennya.
Penerjemah dan/atau juru bahasa pemula dapat menggunakan surel sebagai sarana promosi yang efektif. Alangkah baiknya jika Anda meluangkan waktu untuk menyiapkan terlebih dahulu semua kebutuhan komunikasi surel untuk tujuan ini, misalnya resume, sertifikat kursus, sertifikat pencapaian (jika ada), portofolio atau sampel terjemahan, dan informasi tarif Anda.
Menyiapkan templat surel pun akan sangat bermanfaat karena, ketika tiba saatnya untuk membalas surel dari (calon) klien, Anda siap. Ingat, responsivitas adalah salah satu kesan baik yang membekas di benak konsumen. Bahkan, untuk kasus tertentu, misalnya tender, tanggapan cepat dapat menjadi penentu berhasil atau tidaknya kita mendapatkan bisnis yang ditawarkan.
Untuk memudahkan Anda dalam mengeksekusi segala ihwal per-surel-an dengan (calon) klien, Anda mungkin membutuhkan panduan agar tidak salah ambil sikap. Simak lima hal penting berikut ini:
- Sembunyikan ‘kesan butuh’. Ya, Anda butuh klien dan pekerjaan tetapi cobalah untuk menyembunyikan kesan tersebut dalam surel yang Anda kirim. Bersikaplah tenang, tidak terburu-buru, dan sampaikan semua dengan baik layaknya seorang profesional.
- Kemampuan berbahasa seseorang tercermin dari cara dia berkomunikasi, termasuk dalam bentuk tulisan seperti surel. Jadi, sempurnakan bahasa dan narasi surel Anda karena, dari hal sesederhana surel, (calon) klien dapat memprediksi seperti apa cara dan hasil kerja Anda.
- Gunakan perspektif pembaca saat Anda menulis surel. Coba renungkan pertanyaan ini: Surel seperti apa yang ingin Anda baca dari penyedia jasa yang sedang mencoba menawarkan produk/jasanya kepada Anda? Tidak semua (calon) klien punya waktu yang melimpah untuk membaca surel. Karena itu, prioritaskan informasi penting sedari awal paragraf isi, dengan singkat, padat, dan jelas.
- Kecepatan membalas surel juga perlu diperhatikan. Cepat boleh saja. Namun, ada baiknya jika Anda memberi jeda waktu sebelum membalas. Hal ini dilakukan untuk memberi kesan bahwa Anda tidak terburu-buru (sebaiknya memang tidak terburu-buru) dalam mengambil keputusan dan bahwa Anda mencurahkan waktu untuk memahami dengan baik isi dari komunikasi tersebut.
- Selia isi surel Anda dengan membacanya kembali sebelum mengeklik tombol ‘Kirim’. Kita adalah pekerja bahasa. Karena itu, demonstrasikan kepiawaian berbahasa Anda lewat muatan surel yang memikat, efektif, dan bersih dari galat kebahasaan.
Mengirim surel sebetulnya bukan perkara sulit. Akan tetapi, tidak berarti ini boleh disepelekan. Belajar dari isi surel pemasaran/promosi yang kita terima pun bisa jadi salah satu metode dalam menemukan dan/atau mengembangkan strategi penulisan surel kita. Catat ungkapan menarik dan relevan yang Anda temukan. Lalu terapkan pada saat Anda menuliskan surel berikutnya.
Selamat mencoba!
Tak bisa disangkal, jejaring merupakan salah satu faktor yang memampukan penerjemah dan juru bahasa profesional untuk membangun bisnis yang langgeng. Dalam artikel ini, temukan arti, dampak, dan tiga langkah praktis yang dapat Anda terapkan untuk mulai menjalin jejaring yang kuat dan punya potensi untuk meluas.
Jejaring adalah koneksi yang dibangun seseorang untuk menunjang aktivitas profesional, entah dalam membangun bisnis maupun pekerjaan. Oleh karena itu, tidak heran jika kemampuan membangun jaringan perlu dimiliki oleh setiap orang pada profesinya masing-masing, terlebih saat mengawali karier. Para penerjemah dan/atau juru bahasa pun tidak berbeda. Justru sebaliknya, sebagai profesi yang bertumpu pada jejaring klien yang luas untuk memastikan kesinambungan kerjanya, kemampuan berjejaring penerjemah dan/atau juru bahasa pemula sangat diperlukan.
Berjejaring tentunya memberikan dampak positif bagi para penerjemah dan/atau juru bahasa pemula. Jejaring yang kuat mampu memberikan efek riak bagi karier seorang pemula di bidang alih bahasa tersebut. Apa itu efek riak? Secara umum, efek riak adalah metafora abstrak yang menggambarkan bagaimana sebuah tindakan dapat bergema secara berkelanjutan dan meluas. Sederhananya, efek riak dapat dijelaskan seperti ini:
Ketika seseorang memberikan sapaan atau senyuman kepada kita, otomatis kita membalas senyuman atau sapaan tersebut. Intinya, segala hal baik akan dibalas dengan baik, begitu pun sebaliknya. Lalu, apa sih sebenarnya efek riak yang timbul dari jejaring yang kuat jika kita berprofesi sebagai penerjemah dan/atau juru bahasa?
Pertama, klien perlahan bertambah. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, kesinambungan bisnis penerjemah dan/atau alih bahasa bertumpu pada jejaring klien yang dimiliki. Dengan mempertahankan hasil dan kualitas pekerjaan yang dilakukan, makin banyak orang yang tentunya ingin menggunakan jasa kita sebagai penerjemah dan atau juru bahasa, meski kita masih berada di tingkat pemula.
Selanjutnya, efek riak dari jejaring yang kuat akan meningkatkan kredibilitas kita sebagai pekerja di bidang alih bahasa. Dengan hasil yang baik, ada kemungkinan klien yang saat ini bekerja sama dengan kita merekomendasikan jasa kita ke rekan atau koleganya. Hal ini tentunya sangat penting apalagi bagi orang yang baru memulai kariernya sebagai penerjemah dan/atau juru bahasa.
Jejaring yang kuat juga dapat membuka peluang baru dan memungkinkan kita membangun bisnis atau usaha di bidang yang kita geluti. Misalnya, sebagai penerjemah dan/atau juru bahasa pemula, kita berusaha membangun jejaring yang kuat dengan sesama penerjemah lepas atau aktif dalam komunitas juru bahasa. Jaringan seperti ini punya potensi untuk menjadi wadah terciptanya relasi bisnis tingkat lanjut, seperti membentuk agensi penerjemahan atau penjurubahasaan.
Perlu juga diingat bahwa efek riak yang timbul dari kuatnya jejaring ini tidak akan muncul dengan sendirinya. Membangun jejaring merupakan keterampilan yang perlu diasah, apalagi untuk penerjemah dan atau juru bahasa pemula. Oleh sebab itu, kemampuan dalam berjejaring untuk pemula dapat ditingkatkan dengan melakukan hal-hal sebagai berikut:
- Mengalokasikan waktu untuk membangun jejaring
Bahkan di sela-sela kesibukan, kita perlu meluangkan waktu untuk membangun jejaring. Bertemu dengan banyak orang, baik itu dari latar belakang profesi yang sama atau sekadar bertemu teman-teman lama, bisa menambah luas jejaring yang dimiliki.
- Membangun reputasi diri
Membangun reputasi itu perlu, terlebih jika kita baru terjun ke profesi ini. Temu-kenali keunikan Anda. Coba renungkan pertanyaan ini: Apa kekuatan yang membedakan Anda dari semua praktisi alih bahasa lainnya?
- Menjaga eksistensi
Hadir dan ada, itu dua kata kuncinya di sini. Manfaatkan media sosial untuk menciptakan jenama pribadi Anda. Kelola konten media sosial Anda dengan baik, dan dengan tetap mengindahkan aturan komunikasi dan kerahasiaan yang diatur dalam Kode Etik profesi kita. Media sosial dapat kita daya gunakan untuk membangun komunikasi dengan banyak orang sehingga eksistensi kita sebagai penerjemah dan/atau juru bahasa bisa tercipta dan tetap terjaga.
Pada dasarnya, keberhasilan dalam berjejaring ditentukan oleh seberapa besar minat dan upaya kita. Memiliki jaringan yang luas dan kuat dapat menimbulkan efek riak yang nantinya berdampak positif bagi jenjang karier di masa depan. Oleh karena itu, saat memulai karier sebagai penerjemah atau juru bahasa pemula, kita perlu mempertimbangkan jejaring sebagai salah satu faktor kunci membangun jenjang karier yang lebih baik.
Kerahasiaan adalah salah satu unsur terpenting Kode Etik profesi yang wajib dijunjung penerjemah dan juru bahasa dalam melakoni pekerjaannya. Baca tiga prinsip pokok yang perlu dipegang penerjemah dan juru bahasa dalam menjaga kerahasiaan di artikel ini.
Industri alih bahasa, seperti industri-industri lain, punya aturan, tata tertib, dan kode etik. Bahkan ada peran yang mensyaratkan sumpah khusus untuk menjalaninya.
Yang menarik dalam industri alih bahasa, penerjemah punya ‘hak istimewa’ untuk mengakses terlebih dahulu, misalnya, buku-buku bestseller atau resep menu masakan di restoran yang terkenal akan bumbu gurihnya atau film terbaru yang akan tayang di bioskop pada bulan-bulan mendatang. Singkatnya, dalam konteks ini, penerjemah mengetahui sesuatu yang memiliki nilai komersial dan belum diungkap ke hadapan konsumen.
Ada yang pernah bertanya-tanya seperti apa pertemuan tertutup para pemimpin negara? Apa yang mereka bahas? Atau apa persisnya isi rapat lembaga internasional? Atau, dalam skala yang lebih kecil, mungkin, rapat antara pimpinan perusahaan domestik dan asing?
Sebagian dari kita tahu bagaimana berjalannya diskusi, dialog, dan rapat semacam itu. Tahu persis apa saja yang dibahas dan bagaimana suatu keputusan memengaruhi nasib orang lain. Mereka ini adalah juru bahasa.
Dilansir dari sebuah blog di situs web Day Translations, karakteristik penerjemah dan juru bahasa yang baik setidaknya ada tiga: patuh terhadap prosedur dan aturan, berkomitmen, dan dapat dipercaya untuk menjaga rahasia dengan baik. Poin terakhir, yang akan dibahas kali ini, merupakan poin penting yang harus selalu diingat dan diterapkan setiap kali melakukan pekerjaan alih bahasa dan berlaku untuk setiap individu, baik itu penerjemah dan/atau juru bahasa senior maupun pemula.
Himpunan Penerjemah Indonesia telah menyusun serangkaian Kode Etik yang wajib dipatuhi oleh setiap anggotanya guna memelihara standar-standar tertinggi dalam melaksanakan layanan profesional di bidang penerjemahan dan penjurubahasaan. Kode etik terkait kerahasiaan tertuang dalam Janji Penerjemah bagian Sikap Penerjemah butir 6, yang berbunyi “Menjaga kerahasiaan informasi yang terkandung dalam materi yang diterjemahkan” dan dalam bagian Standar Kinerja Penerjemah butir 2a, yang berbunyi “Menjaga kepentingan klien dalam materi dan isi yang diterjemahkan sebagaimana penerjemah menjaga kepentingan diri sendiri”.
Memang jumlah penerjemah dan/atau juru bahasa yang terlibat dalam hal-hal besar seperti dicontohkan tadi tidak sebanyak mereka yang mengalihkan bahasa untuk keperluan-keperluan yang relatif lebih kecil. Namun, untuk menjaga kepercayaan klien, tidak perlulah tugas yang besar. Atas dasar ini, pengalih bahasa harus mengingat tiga prinsip dasar kerahasiaan setiap kali menjalani pekerjaannya. Tiga prinsip itu adalah:
- Klien adalah reputasi penerjemah dan/atau juru bahasa. Ketika klien puas dengan hasil kerja kita, tentu ia akan merekomendasikan kita kepada orang-orang di lingkaran pergaulannya. Kita akan direkomendasikan karena mampu bekerja dengan baik, santun, hasil kerjanya memuaskan, dan kerahasiaan data klien dijamin.
- Pahami posisi klien karena klien mengambil keputusan serius saat menggunakan jasa kita, terutama jika menyangkut rahasia perusahaan atau lembaga. Ibaratnya, kita memegang kunci yang seharusnya tersimpan di brankas.
- Tidak perlu ragu untuk meminta izin. Jika butuh portofolio, minta izinlah kepada klien sebelum menggunakan namanya atau cuplikan dokumen atau bukti kerja yang pernah dilakukan. Bila izin diberikan, jangan lupa untuk menyensor, mengganti, atau sekaligus menghapus hal atau informasi yang bersifat rahasia.
Menjaga rahasia itu penting karena, selain menyangkut tanggung jawab kita dalam sebuah hubungan kerja, ini juga bisa membuat jasa kita kembali digunakan. Jagalah rahasia dokumen, walaupun yang diterjemahkan hanya dokumen sederhana. Jangan menyebarluaskan muatan pekerjaan tanpa izin klien karena itu melanggar kode etik, merusak hubungan kita dengan klien, dan mencoreng nama baik diri dan profesi kita.
Klien adalah reputasi penerjemah dan/atau juru bahasa.
Bekerjalah dengan sepenuh hati karena rahasia klien adalah juga rahasia pengalih bahasa.
Lapanta Webinar Penerjemahan Sastrawi dan Suara sang Pengarang
Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI) Komisariat Pusat menyelenggarakan Webinar bertajuk ‘Penerjemahan Sastrawi dan Suara sang Pengarang’ pada hari Sabtu, 20 Februari 2020 lalu secara daring melalui aplikasi Zoom. Seminar ini dibuka untuk umum dengan akomodasi Rp75.000 (untuk anggota HPI) dan Rp150.000 (untuk non-anggota). Selain itu, sebagai apresiasi untuk para anggota HPI yang telah melunasi iuran keanggotaan hingga tahun 2020, acara ini tidak dibebankan biaya kepada mereka.
Pembahasan seminar daring ini menitikberatkan pada penerjemahan teks sastra yang tetap membunyikan kembali bahana aneka suara di balik bahasa sumber secara akurat. Meskipun berfokus pada penerjemahan sastrawi, tidak ada batasan untuk peserta yang ingin mengikuti seminar ini, sehingga komposisi peserta pun terdiri dari anggota HPI dan Umum, serta yang berprofesi sebagai penerjemah, juru bahasa, dan profesi lainnya.
Pada kesempatan kali ini, HPI ini mengundang Dalih Sembiring, penerjemah profesional dengan lebih dari 15 tahun pengalaman dan satu-satunya penerjemah Indonesia yang pernah menjadi nomine penghargaan Man Booker International Award 2016, sebagai narasumber dan dipandu oleh Desi Mandarini, penerjemah bersertifikat HPI dan Bendahara HPI Komda Bali. Webinar ini juga turut dihadiri oleh Bapak Indra Listyo selaku Ketua Umum HPI Indonesia, Bapak Hananto Sudharto, Ketua Umum HPI Indonesia periode 2017 – 2019, serta Komisariat Daerah (Komda) lainnya di seluruh Indonesia.
Pembukaan oleh Ketua Umum HPI
Acara dimulai pukul 09.00 WIB dan diawali dengan sambutan dari Desi Mandarini selaku pembawa acara dan moderator, disusul sambutan singkat oleh Bapak Indra Listyo, Ketua Umum HPI. Beliau menyampaikan apresiasinya terhadap seluruh pihak yang telah berpartisipasi sehingga acara webinar ini dapat berlangsung tanpa satu kendala apa pun. Beliau juga menjelaskan bahwa tema yang diangkat diharapkan dapat memberikan manfaat dan mengakomodasi seluruh anggota HPI yang memiliki latar belakang berbeda baik itu penerjemah, juru bahasa, ataupun rekan-rekan dengan spesialisasi lainnya.
Menerjemahkan Suara sang Pengarang
Seminar kemudian dilanjutkan ke sesi paparan oleh narasumber, Dalih Sembiring. Beliau membuka presentasinya dengan menjelaskan sekilas mengenai latar belakangnya sebagai penerjemah dan bagaimana ia akhirnya menjadi pembicara pada sesi kali ini.
Berawal dari kecintaannya terhadap karya fiksi melalui dongeng anak yang diceritakan almarhum ayahnya dan buku-buku dongeng nusantara, rasa penasarannya terhadap karya-karya Edgar Allan Poe dan William Shakespeare saat mengenyam pendidikan SMP di Australia, hingga akhirnya berkenalan dengan karya-karya pengarang asal Indonesia seperti N.H. Dini, Pramoedya Ananta Toer, dan Motinggo Boesje menjadikannya menekuni profesi penulis dan penerjemah sastrawi hingga saat ini.
Beliau kemudian menceritakan dilemanya ketika diajak oleh Ade Indarta, salah satu tokoh penting HPI dan seniornya semasa kuliah di UGM, untuk menjadi narasumber pada sesi kali ini. Menurutnya, dengan tema seminar penerjemahan sastrawi berbanding jumlah karya sastra yang telah diterjemahkannya, masih banyak yang lebih mumpuni darinya untuk angkat bicara. Namun, ketika teringat sebuah adagium Write what you know, beliau merasa pepatah tersebut telah mengantarkannya menjadi pembicara dalam webinar ini. Dari keputusannya menjadi narasumber, Dalih berkesempatan untuk menempatkan diri sebagai pengarang yang sebagian karya-karya sastrawinya telah diterjemahkan (oleh penerjemah lain), dan juga menempatkan diri pada posisi penerjemah yang telah menerjemahkan beberapa karya sastrawi pengarang lain.
Sesi presentasi bersama Dalih tidak monoton. Alasannya, beliau sempat melakukan kegiatan interaktif melalui sebuah eksperimen kecil di awal sesinya. Beliau meminta semua peserta menutup mata (secara virtual) dan beliau menyebutkan tiga kata untuk melihat respons dari masing-masing peserta ketika mendengar tiga kata tersebut. Dari eksperimen sederhana ini, disimpulkan bahwa (terkait reseptor) ada orang-orang yang dapat membayangkan secara visual, tekstual ataupun keduanya, dan (terkait materi) ada mereka yang lebih mudah menggambarkannya ketika mendengar kata-kata.
Melalui kegiatan ini, beliau memaparkan bahwa cara pikiran manusia merespons kata dalam bahasa yang dipahami, dan apa saja asosiasi, muatan makna, serta nuansa atau tekstur yang terkandung dalam kata-kata, adalah tantangan sekaligus “taman bermain” bagi para pengarang dalam menuliskan kisah-kisah demi menyampaikan pengalaman dan pesan-pesan. Sedangkan bagi penerjemah susastra, tantangan yang dihadapi adalah mengidentifikasi mana saja yang diperlakukan sebagai sastra visual dan sastra verbal.
Guna memberikan penjelasan yang lebih mendalam mengenai peran penerjemah sastrawi, ia melontarkan pertanyaan seputar hal-hal yang didapatkan ketika berprofesi sebagai penerjemah sastrawi sekaligus penulis atau pengarang karya sastra kepada empat responden yang relevan yaitu Eka Kurniawan (pengarang), Gde Dwitya (peneliti untuk EDGS Northwestern University dan Editor Jalankaji.net), Nuno Rosalino (penerjemah lepas bahasa Inggris-Portugal), Bela Nazaire (penerjemah bahasa Inggris-Prancis). Dari jawaban responden di atas, terdapat empat poin penting yang dirangkum sebagai berikut:
- Penerjemah karya sastra tetap dituntut kreatif menciptakan ulang teks;
- Mereka juga sepatutnya lebih sensitif terhadap nuansa makna yang muncul pada diksi tertentu;
- Every word choice matters; dan
- Seorang penerjemah sastra dituntut untuk menemukan the right balance between accuracy and artistry.
Dari empat poin tersebut, kita dapat melihat secara utuh tantangan yang dihadapi penerjemah dalam menerjemahkan suatu karya. Adapun keempat poin ini dibagi ke dalam dua kategori, yakni kategori mikro (poin 2 dan 3) dan makro (poin 1 dan 4).
Pada kategori mikro, seorang penerjemah sastra dituntut lebih sensitif terhadap nuansa makna yang muncul pada diksi tertentu, sebab setiap kata yang dipilih sangat berpengaruh. Mengutip kata Nuno Rosalino, apabila satu kalimat saja terasa tidak tepat atau sumbang bagi pembaca, hal ini tidak hanya memberikan efek negatif terhadap hubungan pembaca dengan penerjemah saja tetapi juga pembaca dengan penulis karya sastranya.
Sedangkan dalam kategori makro, poin menciptakan ulang teks dalam penerjemahan dan tetap berkompromi pada accuracy and artistry saat menerjemahkan memerlukan pemahaman atas suara sang pengarang atau the author’s voice yang menjadi inti utama pembahasan pada webinar kali ini. Dalam menjelaskan lebih jauh mengenai peran suara sang pengarang pada proses penerjemahan, beliau memberikan contoh yang cukup dikenal di kalangan penerjemah.
Saat Robert Chandler (penyair dan penerjemah) berkonsultasi sangat intens dengan Hamid Ismailov ketika menerjemahkan buku karangan Hamid yang berjudul The Railway, Chandler mengaku mengirimkan empat sampai lima ratus pertanyaan kepada Ismailov dalam setahun. Mereka habiskan banyak waktu mendiskusikan berbagai hal terkait novel yang sedang diterjemahkan, mulai dari lelucon-lelucon kasar, slogan-slogan politik, hingga sastra Sufi.
Lewat kisah ini, kita memahami bahwa sebagian pengarang menghargai dan menikmati proses ketika penerjemah mengutarakan banyak pertanyaan yang relevan demi menggali detail-detail yang terdapat dalam lapisan pada karya yang sedang di terjemahkan. Bahkan, meskipun sangat jarang, penerjemah dapat memberikan saran supaya satu bagian dipindah ke bagian lainnya demi tujuan penerjemahan yang lebih tepat sasaran.
Gunakan istilah yang familier di telinga karena, jika sudah dasar sudah dikuasai, proses kreatif akan menjadi lebih mudah. Dalam proses penerjemahan, Dalih menggunakan lapisan-lapisan untuk mengidentifikasi makna atau pesan apa saja yang ada di balik teks.
“Suatu karya terdiri atas begitu banyak lapisan. Di balik lapis demi lapis teks yang tersaji, ada lapisan pesan dan pengalaman. Susunan kata demi kata itu dapat mengandung lapisan visual, lapisan emosional, lapisan sosio-kultural, lapisan spiritual/religius, lapisan politis, lapisan latar waktu, atau lapisan latar tempat. Dari sisi teknis, ada lapisan ritme, lapisan alur, lapisan majas, lapisan bunyi, dan lain sebagainya,” jelasnya.
Penulis, pembaca, maupun penerjemah bebas menambahkan lapisan lain sesuai kebutuhan maupun kemampuan untuk mengidentifikasinya. Ketika membaca suatu karya, terutama apabila dilakukan lebih dari satu kali, kita akan menemukan betapa sering lapisan yang satu menjadi bagian dari lapisan yang lain, atau bagaimana lapisan yang satu tumpang tindih dengan lapisan yang lain. Baginya pribadi, proses identifikasi terhadap lapisan-lapisan di balik teks tersebut membantu pekerjaan penerjemahannya.
Memahami target pembaca dalam pemilihan kata saat menerjemahkan juga dapat membantu menghasilkan terjemahan yang sesuai dengan maksud dan tujuan yang ingin disampaikan pengarang. Pertimbangan seorang penerjemah menggunakan istilah teknis atau bahasa yang lebih sederhana bertujuan untuk memberikan pemahaman sepenuhnya kepada target pembaca dan mengurangi kemungkinan salah tafsir oleh target pembaca. Lagi-lagi, hal ini dapat dilakukan dengan membedah lapisan-lapisan seperti lapisan visual, lapisan latar tempat dan lapisan sosio-kultural pada contoh teks yang disajikan.
Contoh-contoh yang dipilih Dalih untuk ditampilkan dalam webinar ini bukan tanpa alasan, beliau ingin memperjelas bagaimana seorang penerjemah “mencipta ulang” suatu karya dalam bahasa lain dengan memperlihatkan bagaimana penerjemahan kata ibu di lima contoh yang berbeda. Berikut beberapa contohnya:
Contoh 1 - Lelaki Harimau oleh Eka Kurniawan
Penyebutan ‘Ibu’ hanya sekali dalam novel ini, sehingga tidak ada kesulitan saat menerjemahkan kata “ibu” menjadi “mother”. Hal ini diputuskan setelah Dalih mengidentifikasi secara keseluruhan lapisan yang ada di dalam teks tersebut.
Contoh 2 – A Ming Alias Mintono oleh Caroline Wong
Pada cerita pendek ini, Dalih memutuskan untuk tidak mengubah kata “Mak” atau “Mamak” menjadi “Mother” karena terlalu banyak lapisan makna. Maka, menghilangkan, menggantikan atau bahkan memiringkan kata tersebut pada bahasa target akan menyerabut lapisan makna pada kata dan mungkin bisa merusak keseluruhan teks. Dalam konteks ini, kata “Mother” tidak akan pernah setara dengan kata “Mamak”.
Contoh 3 – Panggil Aku Mama oleh Tya Subiakto
Ada satu bagian dalam teks di mana sang Suami meminta Istrinya memanggil Papa dan sang istri meminta suami memanggilnya Mama. Dari keseluruhan novel, ini menjadi bagian yang paling sulit diterjemahkan karena unsur sosio-kultural yang melapisi bagian ini bisa dimaknai begitu berbeda apabila diterjemahkan apa adanya. Solusinya, Dalih kemudian membubuhkan keterangan tambahan di paragraf terkait yang menjelaskan bahwa penerjemahan yang dilakukan sesuai dengan aspek sosio-kultural di Indonesia, latar tempat novel ini.
Contoh 4 – Peri Puck, Pertiwi & Bunga Cinta oleh Dalih Sembiring
erpen ini tergolong fabel dan penuh dengan simbol. Perubahan kata “Pertiwi” yang diterjemahkan menjadi “Ol’ Earth” pada judul cerpen ini didasari oleh keputusan penerjemah menghadirkan lapisan makna “mother earth” pada pilihan kata “Ol’ Earth”. Pilihan tersebut tidak saja menjaga makna “ibu” dalam nama “Pertiwi” tapi juga memberikan Pertiwi nama belakang yang mana hal ini lazim di banyak negara, termasuk negara berbahasa Inggris.
Contoh 5 – L’ Etranger oleh Albert Camus
Dalam esai “What the First Line of “The Stranger” Should Be” oleh Ryan Bloom, dikatakan bahwa semua penerjemah yang mencoba menerjemahkan kalimat pembuka untuk novel L’Etranger karya Albert Camus ke dalam bahasa Inggris dinyatakan gagal. Alasannya, penerjemahan kata “Maman” menjadi kata “Mother” atau “Mommy” pada kalimat pembuka dapat mengubah keseluruhan makna di dalam novel tersebut. Sehingga, pesan yang disisipkan oleh pengarang tidak tersampaikan dengan benar kepada target pembaca. “Maman” dalam bahasa Perancis diartikan berada di tengah-tengah makna “Mother” yang diartikan dingin dan berjarak, serta bukan pula “Mommy” yang terlampau kekanak-kanakan. “Maman” memiliki makna yang tidak dimiliki kedua kata di atas, sehingga, alih bahasa “Maman” pada kalimat pembuka novel ini tidak dapat dilakukan. Pendekatan penerjemahan yang dilakukan dalam teks ini adalah accentual-syllabic rhythm. Pada contoh terakhir, penerjemah dihadapkan oleh kesulitan memindahkan suara sang pengarang dalam karya terjemahan.
Penerjemah memang memiliki tuntutan untuk menciptakan ulang karya tetapi itu tidak berarti penerjemah bebas menerjang berbagai aturan atas nama kreativitas maupun estetika sampai ia memasukkan suaranya sendiri ke dalam terjemahan. Jika itu yang terjadi, bukan proses penerjemahan, melainkan proses adaptasi karya sastra. Menurut Dalih, penciptaan ulang yang baik adalah yang menghormati suara sang pengarang dalam karya asli.
Beliau menyatakan bahwa suatu terjemahan sastrawi dikatakan berhasil apabila ia dapat berdiri sendiri sebagai sesuatu karya yang mengalir saat dibaca dalam bahasa target, sekaligus dapat dipertanggungjawabkan sebagai suatu karya yang menghormati lapisan-lapisan dalam karya orisinal sebagai hasil dari proses penciptaan yang pelik.
Sebagai penutup, Dalih memberikan delapan kiat untuk melatih penerjemahan sastrawi yang telah beliau rangkum dari berbagai sumber:
- Coba untuk tidak menerjemahkan (dan mengedit) dengan gaya/suara Anda sendiri;
- Lakukan identifikasi karakter dan latar pada karya sastra;
- Usahakan menciptakan dialog yang mengalir (atau tidak sesuai dengan kebutuhan);
- Penggunaan tanda baca yang tepat sangat berpengaruh pada hasil terjemahan Anda;
- Selalu perhatikan konteks;
- Sering berkomunikasi dengan pengarang;
- Baca sendiri hasil terjemahan Anda; dan
- Minta pendapat, kritik dan saran (dari seseorang yang memiliki pengalaman dan pengetahuan mengenai penerjemahan).
Menganalisis suatu karya sastra sebelum diterjemahkan mungkin akan sulit untuk dilakukan, apalagi jika kita berhadapan dengan tenggat waktu. Namun, sebagai pengantar kepada ihwal penerjemahan sastrawi dan suara sang pengarang, penjabaran di atas dapat membuka mata kita bahwa ada hal-hal yang begitu detail dalam karya sastrawi, dengan lapisan-lapisan subteks yang mau tidak mau akan jadi bahan perbandingan pembaca dan kritikus dalam menilai hasil terjemahan kita nantinya.
Meskipun tidak dapat menyampaikan seluruh informasi yang dijelaskan dalam webinar “Penerjemahan Sastrawi dan Suara sang Pengarang”, semoga tulisan ini setidaknya mampu mewakili sebagian besar materi yang disajikan oleh narasumber. Terima kasih juga kami haturkan untuk seluruh anggota HPI, perwakilan Komda, dan peserta yang telah ikut berpartisipasi dalam webinar kali ini.