Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI) Komisariat Pusat menyelenggarakan Webinar bertajuk ‘Penerjemahan Sastrawi dan Suara sang Pengarang’ pada hari Sabtu, 20 Februari 2020 lalu secara daring melalui aplikasi Zoom. Seminar ini dibuka untuk umum dengan akomodasi Rp75.000 (untuk anggota HPI) dan Rp150.000 (untuk non-anggota). Selain itu, sebagai apresiasi untuk para anggota HPI yang telah melunasi iuran keanggotaan hingga tahun 2020, acara ini tidak dibebankan biaya kepada mereka.
Pembahasan seminar daring ini menitikberatkan pada penerjemahan teks sastra yang tetap membunyikan kembali bahana aneka suara di balik bahasa sumber secara akurat. Meskipun berfokus pada penerjemahan sastrawi, tidak ada batasan untuk peserta yang ingin mengikuti seminar ini, sehingga komposisi peserta pun terdiri dari anggota HPI dan Umum, serta yang berprofesi sebagai penerjemah, juru bahasa, dan profesi lainnya.
Pada kesempatan kali ini, HPI ini mengundang Dalih Sembiring, penerjemah profesional dengan lebih dari 15 tahun pengalaman dan satu-satunya penerjemah Indonesia yang pernah menjadi nomine penghargaan Man Booker International Award 2016, sebagai narasumber dan dipandu oleh Desi Mandarini, penerjemah bersertifikat HPI dan Bendahara HPI Komda Bali. Webinar ini juga turut dihadiri oleh Bapak Indra Listyo selaku Ketua Umum HPI Indonesia, Bapak Hananto Sudharto, Ketua Umum HPI Indonesia periode 2017 – 2019, serta Komisariat Daerah (Komda) lainnya di seluruh Indonesia.
Pembukaan oleh Ketua Umum HPI
Acara dimulai pukul 09.00 WIB dan diawali dengan sambutan dari Desi Mandarini selaku pembawa acara dan moderator, disusul sambutan singkat oleh Bapak Indra Listyo, Ketua Umum HPI. Beliau menyampaikan apresiasinya terhadap seluruh pihak yang telah berpartisipasi sehingga acara webinar ini dapat berlangsung tanpa satu kendala apa pun. Beliau juga menjelaskan bahwa tema yang diangkat diharapkan dapat memberikan manfaat dan mengakomodasi seluruh anggota HPI yang memiliki latar belakang berbeda baik itu penerjemah, juru bahasa, ataupun rekan-rekan dengan spesialisasi lainnya.
Menerjemahkan Suara sang Pengarang
Seminar kemudian dilanjutkan ke sesi paparan oleh narasumber, Dalih Sembiring. Beliau membuka presentasinya dengan menjelaskan sekilas mengenai latar belakangnya sebagai penerjemah dan bagaimana ia akhirnya menjadi pembicara pada sesi kali ini.
Berawal dari kecintaannya terhadap karya fiksi melalui dongeng anak yang diceritakan almarhum ayahnya dan buku-buku dongeng nusantara, rasa penasarannya terhadap karya-karya Edgar Allan Poe dan William Shakespeare saat mengenyam pendidikan SMP di Australia, hingga akhirnya berkenalan dengan karya-karya pengarang asal Indonesia seperti N.H. Dini, Pramoedya Ananta Toer, dan Motinggo Boesje menjadikannya menekuni profesi penulis dan penerjemah sastrawi hingga saat ini.
Beliau kemudian menceritakan dilemanya ketika diajak oleh Ade Indarta, salah satu tokoh penting HPI dan seniornya semasa kuliah di UGM, untuk menjadi narasumber pada sesi kali ini. Menurutnya, dengan tema seminar penerjemahan sastrawi berbanding jumlah karya sastra yang telah diterjemahkannya, masih banyak yang lebih mumpuni darinya untuk angkat bicara. Namun, ketika teringat sebuah adagium Write what you know, beliau merasa pepatah tersebut telah mengantarkannya menjadi pembicara dalam webinar ini. Dari keputusannya menjadi narasumber, Dalih berkesempatan untuk menempatkan diri sebagai pengarang yang sebagian karya-karya sastrawinya telah diterjemahkan (oleh penerjemah lain), dan juga menempatkan diri pada posisi penerjemah yang telah menerjemahkan beberapa karya sastrawi pengarang lain.
Sesi presentasi bersama Dalih tidak monoton. Alasannya, beliau sempat melakukan kegiatan interaktif melalui sebuah eksperimen kecil di awal sesinya. Beliau meminta semua peserta menutup mata (secara virtual) dan beliau menyebutkan tiga kata untuk melihat respons dari masing-masing peserta ketika mendengar tiga kata tersebut. Dari eksperimen sederhana ini, disimpulkan bahwa (terkait reseptor) ada orang-orang yang dapat membayangkan secara visual, tekstual ataupun keduanya, dan (terkait materi) ada mereka yang lebih mudah menggambarkannya ketika mendengar kata-kata.
Melalui kegiatan ini, beliau memaparkan bahwa cara pikiran manusia merespons kata dalam bahasa yang dipahami, dan apa saja asosiasi, muatan makna, serta nuansa atau tekstur yang terkandung dalam kata-kata, adalah tantangan sekaligus “taman bermain” bagi para pengarang dalam menuliskan kisah-kisah demi menyampaikan pengalaman dan pesan-pesan. Sedangkan bagi penerjemah susastra, tantangan yang dihadapi adalah mengidentifikasi mana saja yang diperlakukan sebagai sastra visual dan sastra verbal.
Guna memberikan penjelasan yang lebih mendalam mengenai peran penerjemah sastrawi, ia melontarkan pertanyaan seputar hal-hal yang didapatkan ketika berprofesi sebagai penerjemah sastrawi sekaligus penulis atau pengarang karya sastra kepada empat responden yang relevan yaitu Eka Kurniawan (pengarang), Gde Dwitya (peneliti untuk EDGS Northwestern University dan Editor Jalankaji.net), Nuno Rosalino (penerjemah lepas bahasa Inggris-Portugal), Bela Nazaire (penerjemah bahasa Inggris-Prancis). Dari jawaban responden di atas, terdapat empat poin penting yang dirangkum sebagai berikut:
- Penerjemah karya sastra tetap dituntut kreatif menciptakan ulang teks;
- Mereka juga sepatutnya lebih sensitif terhadap nuansa makna yang muncul pada diksi tertentu;
- Every word choice matters; dan
- Seorang penerjemah sastra dituntut untuk menemukan the right balance between accuracy and artistry.
Dari empat poin tersebut, kita dapat melihat secara utuh tantangan yang dihadapi penerjemah dalam menerjemahkan suatu karya. Adapun keempat poin ini dibagi ke dalam dua kategori, yakni kategori mikro (poin 2 dan 3) dan makro (poin 1 dan 4).
Pada kategori mikro, seorang penerjemah sastra dituntut lebih sensitif terhadap nuansa makna yang muncul pada diksi tertentu, sebab setiap kata yang dipilih sangat berpengaruh. Mengutip kata Nuno Rosalino, apabila satu kalimat saja terasa tidak tepat atau sumbang bagi pembaca, hal ini tidak hanya memberikan efek negatif terhadap hubungan pembaca dengan penerjemah saja tetapi juga pembaca dengan penulis karya sastranya.
Sedangkan dalam kategori makro, poin menciptakan ulang teks dalam penerjemahan dan tetap berkompromi pada accuracy and artistry saat menerjemahkan memerlukan pemahaman atas suara sang pengarang atau the author’s voice yang menjadi inti utama pembahasan pada webinar kali ini. Dalam menjelaskan lebih jauh mengenai peran suara sang pengarang pada proses penerjemahan, beliau memberikan contoh yang cukup dikenal di kalangan penerjemah.
Saat Robert Chandler (penyair dan penerjemah) berkonsultasi sangat intens dengan Hamid Ismailov ketika menerjemahkan buku karangan Hamid yang berjudul The Railway, Chandler mengaku mengirimkan empat sampai lima ratus pertanyaan kepada Ismailov dalam setahun. Mereka habiskan banyak waktu mendiskusikan berbagai hal terkait novel yang sedang diterjemahkan, mulai dari lelucon-lelucon kasar, slogan-slogan politik, hingga sastra Sufi.
Lewat kisah ini, kita memahami bahwa sebagian pengarang menghargai dan menikmati proses ketika penerjemah mengutarakan banyak pertanyaan yang relevan demi menggali detail-detail yang terdapat dalam lapisan pada karya yang sedang di terjemahkan. Bahkan, meskipun sangat jarang, penerjemah dapat memberikan saran supaya satu bagian dipindah ke bagian lainnya demi tujuan penerjemahan yang lebih tepat sasaran.
Gunakan istilah yang familier di telinga karena, jika sudah dasar sudah dikuasai, proses kreatif akan menjadi lebih mudah. Dalam proses penerjemahan, Dalih menggunakan lapisan-lapisan untuk mengidentifikasi makna atau pesan apa saja yang ada di balik teks.
“Suatu karya terdiri atas begitu banyak lapisan. Di balik lapis demi lapis teks yang tersaji, ada lapisan pesan dan pengalaman. Susunan kata demi kata itu dapat mengandung lapisan visual, lapisan emosional, lapisan sosio-kultural, lapisan spiritual/religius, lapisan politis, lapisan latar waktu, atau lapisan latar tempat. Dari sisi teknis, ada lapisan ritme, lapisan alur, lapisan majas, lapisan bunyi, dan lain sebagainya,” jelasnya.
Penulis, pembaca, maupun penerjemah bebas menambahkan lapisan lain sesuai kebutuhan maupun kemampuan untuk mengidentifikasinya. Ketika membaca suatu karya, terutama apabila dilakukan lebih dari satu kali, kita akan menemukan betapa sering lapisan yang satu menjadi bagian dari lapisan yang lain, atau bagaimana lapisan yang satu tumpang tindih dengan lapisan yang lain. Baginya pribadi, proses identifikasi terhadap lapisan-lapisan di balik teks tersebut membantu pekerjaan penerjemahannya.
Memahami target pembaca dalam pemilihan kata saat menerjemahkan juga dapat membantu menghasilkan terjemahan yang sesuai dengan maksud dan tujuan yang ingin disampaikan pengarang. Pertimbangan seorang penerjemah menggunakan istilah teknis atau bahasa yang lebih sederhana bertujuan untuk memberikan pemahaman sepenuhnya kepada target pembaca dan mengurangi kemungkinan salah tafsir oleh target pembaca. Lagi-lagi, hal ini dapat dilakukan dengan membedah lapisan-lapisan seperti lapisan visual, lapisan latar tempat dan lapisan sosio-kultural pada contoh teks yang disajikan.
Contoh-contoh yang dipilih Dalih untuk ditampilkan dalam webinar ini bukan tanpa alasan, beliau ingin memperjelas bagaimana seorang penerjemah “mencipta ulang” suatu karya dalam bahasa lain dengan memperlihatkan bagaimana penerjemahan kata ibu di lima contoh yang berbeda. Berikut beberapa contohnya:
Contoh 1 - Lelaki Harimau oleh Eka Kurniawan
Penyebutan ‘Ibu’ hanya sekali dalam novel ini, sehingga tidak ada kesulitan saat menerjemahkan kata “ibu” menjadi “mother”. Hal ini diputuskan setelah Dalih mengidentifikasi secara keseluruhan lapisan yang ada di dalam teks tersebut.
Contoh 2 – A Ming Alias Mintono oleh Caroline Wong
Pada cerita pendek ini, Dalih memutuskan untuk tidak mengubah kata “Mak” atau “Mamak” menjadi “Mother” karena terlalu banyak lapisan makna. Maka, menghilangkan, menggantikan atau bahkan memiringkan kata tersebut pada bahasa target akan menyerabut lapisan makna pada kata dan mungkin bisa merusak keseluruhan teks. Dalam konteks ini, kata “Mother” tidak akan pernah setara dengan kata “Mamak”.
Contoh 3 – Panggil Aku Mama oleh Tya Subiakto
Ada satu bagian dalam teks di mana sang Suami meminta Istrinya memanggil Papa dan sang istri meminta suami memanggilnya Mama. Dari keseluruhan novel, ini menjadi bagian yang paling sulit diterjemahkan karena unsur sosio-kultural yang melapisi bagian ini bisa dimaknai begitu berbeda apabila diterjemahkan apa adanya. Solusinya, Dalih kemudian membubuhkan keterangan tambahan di paragraf terkait yang menjelaskan bahwa penerjemahan yang dilakukan sesuai dengan aspek sosio-kultural di Indonesia, latar tempat novel ini.
Contoh 4 – Peri Puck, Pertiwi & Bunga Cinta oleh Dalih Sembiring
erpen ini tergolong fabel dan penuh dengan simbol. Perubahan kata “Pertiwi” yang diterjemahkan menjadi “Ol’ Earth” pada judul cerpen ini didasari oleh keputusan penerjemah menghadirkan lapisan makna “mother earth” pada pilihan kata “Ol’ Earth”. Pilihan tersebut tidak saja menjaga makna “ibu” dalam nama “Pertiwi” tapi juga memberikan Pertiwi nama belakang yang mana hal ini lazim di banyak negara, termasuk negara berbahasa Inggris.
Contoh 5 – L’ Etranger oleh Albert Camus
Dalam esai “What the First Line of “The Stranger” Should Be” oleh Ryan Bloom, dikatakan bahwa semua penerjemah yang mencoba menerjemahkan kalimat pembuka untuk novel L’Etranger karya Albert Camus ke dalam bahasa Inggris dinyatakan gagal. Alasannya, penerjemahan kata “Maman” menjadi kata “Mother” atau “Mommy” pada kalimat pembuka dapat mengubah keseluruhan makna di dalam novel tersebut. Sehingga, pesan yang disisipkan oleh pengarang tidak tersampaikan dengan benar kepada target pembaca. “Maman” dalam bahasa Perancis diartikan berada di tengah-tengah makna “Mother” yang diartikan dingin dan berjarak, serta bukan pula “Mommy” yang terlampau kekanak-kanakan. “Maman” memiliki makna yang tidak dimiliki kedua kata di atas, sehingga, alih bahasa “Maman” pada kalimat pembuka novel ini tidak dapat dilakukan. Pendekatan penerjemahan yang dilakukan dalam teks ini adalah accentual-syllabic rhythm. Pada contoh terakhir, penerjemah dihadapkan oleh kesulitan memindahkan suara sang pengarang dalam karya terjemahan.
Penerjemah memang memiliki tuntutan untuk menciptakan ulang karya tetapi itu tidak berarti penerjemah bebas menerjang berbagai aturan atas nama kreativitas maupun estetika sampai ia memasukkan suaranya sendiri ke dalam terjemahan. Jika itu yang terjadi, bukan proses penerjemahan, melainkan proses adaptasi karya sastra. Menurut Dalih, penciptaan ulang yang baik adalah yang menghormati suara sang pengarang dalam karya asli.
Beliau menyatakan bahwa suatu terjemahan sastrawi dikatakan berhasil apabila ia dapat berdiri sendiri sebagai sesuatu karya yang mengalir saat dibaca dalam bahasa target, sekaligus dapat dipertanggungjawabkan sebagai suatu karya yang menghormati lapisan-lapisan dalam karya orisinal sebagai hasil dari proses penciptaan yang pelik.
Sebagai penutup, Dalih memberikan delapan kiat untuk melatih penerjemahan sastrawi yang telah beliau rangkum dari berbagai sumber:
- Coba untuk tidak menerjemahkan (dan mengedit) dengan gaya/suara Anda sendiri;
- Lakukan identifikasi karakter dan latar pada karya sastra;
- Usahakan menciptakan dialog yang mengalir (atau tidak sesuai dengan kebutuhan);
- Penggunaan tanda baca yang tepat sangat berpengaruh pada hasil terjemahan Anda;
- Selalu perhatikan konteks;
- Sering berkomunikasi dengan pengarang;
- Baca sendiri hasil terjemahan Anda; dan
- Minta pendapat, kritik dan saran (dari seseorang yang memiliki pengalaman dan pengetahuan mengenai penerjemahan).
Menganalisis suatu karya sastra sebelum diterjemahkan mungkin akan sulit untuk dilakukan, apalagi jika kita berhadapan dengan tenggat waktu. Namun, sebagai pengantar kepada ihwal penerjemahan sastrawi dan suara sang pengarang, penjabaran di atas dapat membuka mata kita bahwa ada hal-hal yang begitu detail dalam karya sastrawi, dengan lapisan-lapisan subteks yang mau tidak mau akan jadi bahan perbandingan pembaca dan kritikus dalam menilai hasil terjemahan kita nantinya.
Meskipun tidak dapat menyampaikan seluruh informasi yang dijelaskan dalam webinar “Penerjemahan Sastrawi dan Suara sang Pengarang”, semoga tulisan ini setidaknya mampu mewakili sebagian besar materi yang disajikan oleh narasumber. Terima kasih juga kami haturkan untuk seluruh anggota HPI, perwakilan Komda, dan peserta yang telah ikut berpartisipasi dalam webinar kali ini.